Senin, Juli 14, 2008

Pemberdayaan Masyarakat


Oleh Ahmad Turamsili

Edi Suharto dalam makalahnya yang berjudul Pendampingan Sosial dalam Pemberdayaan Masyarakat Miskin: Konsepsi & Strategi mendefinisikan pemberdayaan masyarakat sebagai tindakan sosial di mana penduduk sebuah komunitas mengorganisasikan diri dalam membuat perencanaan dan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah sosial atau memenuhi kebutuhan sosial sesuai dengan kemampuan dan sumberdaya yang dimilikinya.

Menurutnya pada kenyataannya, seringkali proses ini tidak muncul secara otomatis, melainkan tumbuh dan berkembang berdasarkan interaksi masyarakat setempat dengan pihak luar atau para pekerja sosial baik yang bekerja berdasarkan dorongan karitatif maupun perspektif profesional.

Aang Abu Bakar Yusuf dalam tulisannya yang berjudul Relasi Community Empowerment (Pemberdayaan Masyarakat) dengan Perdamaian mengutip definisi pemberdayaan masyarakat yang dikemukakan oleh UNDP, Empowerment (pemberdayaan/penguatan) dianggap sebagai sebuah proses yang memungkinkan kalangan individual ataupun kelompok merubah keseimbangan kekuasaan dalam segi sosial, ekonomi maupun politik pada sebuah masyarakat ataupun komunitas. Kegiatan pemberdayaan dapat mengacu pada banyak kegiatan, di antaranya adalah meningkatkan kesadaran akan adanya kekuatan-kekuatan sosial yang menekan orang lain dan juga pada aksi-aksi untuk mengubah pola kekuasaan di masyarakat.

Dari jenisnya, pemberdayaan/penguatan dapat dilihat pada dua level, individual dan komunitas. Pada tataran individual, isu-isu yang relevan dengan pemberdayaan adalah: hubungan patron-klien, gender, akses ke pemerintahan (negara), dan sumber-sumber kepemilikan properti. Sementara pada tataran komunitas, isu-isu utama yang biasa diangkat adalah: mobilisasi sumberdaya (resources mobilization), pemberdayaan/penguatan kerangka institusional dan akses hubungan (linkages) dengan badan-badan pemerintah.

Berkaitan dengan isu ini, UNESCO sendiri pernah mengungkapkan bahwa titik tekan tujuan pembangunan di masa depan adalah untuk membangun manusianya bukan pada membangun benda-benda yang bersifat fisik (the goals, aims and objectives of the development to be not to develop things but to develop people). Implikasinya adalah bahwa pembangunan haruslah lebih ditujukan pada peningkatan pencapaian spiritual, moral dan material manusia seutuhnya, baik selaku individual maupun sebagai bagian dari anggota masyarakat. Hal-hal itulah yang kemudian menjadi ranah pemberdayaan ataupun penguatan (empowerment). Signifikansi pemberdayaan/penguatan pada tataran individual tentu saja berbanding lurus dengan pemberdayaan/penguatan pada tataran komunitas.

Masih mengutip makalah tersebut, Friedmann menyebutkan bahwa pemberdayaan/penguatan pada tataran individual dan komunitas terkecil dalam masyarakat yaitu keluarga/rumah tangga, sangatlah penting. Bahkan ia mengistilahkan pemberdayaan/penguatan jenis ini sebagai pembangunan alternatif (the alternative development).

Pemberdayaan/penguatan pada tataran individual dan keluarga pada gilirannya akan berimbas pada tataran masyarakat. Dengan kata lain, jika kita ingin membenahi dan menguatkan masyarakat, sasaran pertama adalah pembenahan serta pemberdayaan/penguatan individu dan keluarga mereka terlebih dahulu.

Salah satu pemberdayaan/penguatan yang ditekankan oleh Friedmann adalah keadilan dan kesetaraan gender. Menurutnya, selama ini perempuan seringkali dirugikan dan disengsarakan oleh sistem patriarkis yang menganggap bahwa laki-laki lebih superior dibanding laki-laki. Dampaknya adalah perempuan lebih sering dianggap sebagai makhluk kelas dua dan tidak berdaya apa-apa sehingga banyak terjadi penindasan, baik dalam rumah tangga maupun di masyarakat. Dalam konteks pembangunan dan pemberdayaan, peran perempuan juga acapkali masih sering dinegasikan dan tidak diperhatikan. Padahal sebagai makhluk individual dan sosial, perempuan memiliki hak serta kemampuan yang sama dengan laki-laki.

Keadilan dan kesejahteraan sosial sendiri merujuk kepada suatu kondisi sosial. Indikator-indikator yang biasa digunakan pun cukup jelas, di antaranya adalah angka kriminalitas, tingkat pengangguran, angka illiterasi di kalangan masyarakat, kemiskinan, dan lain sebagainya. Semakin rendah angka-angka tersebut menunjukkan bahwa suatu masyarakat memiliki tingkat kesejahteraan sosial yang tinggi, sebaliknya jika angka-angka hal-hal di atas semakin tinggi, dapat dipastikan pula tingkat kesejahteraan mereka semakin rendah. Kesejahteraan sosial pun sebetulnya pada awalnya. dapat diukur dari terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan individual yang bersifat basic needs seperti sandang, pangan, papan dan tentunya yang sangat penting juga adalah keamanan ataupun kedamaian. Suatu masyarakat ataupun komunitas dapat dikatakan sejahtera jika kebutuhan-kebutuhan individual itu juga dapat terpenuhi dan tercapai pada level komunitas ataupun masyarakat.

Pada tataran inilah, program-program community empowerment mendapatkan core-nya. Dengan program-program tersebut, kesejahteraan yang nantinya akan dicapai tidak hanya terkonsentrasi atau berputar di segelintir orang saja, tetapi haruslah dapat di-share dan dinikmati bersama.

Pemberdayaan Masyarakat di Indonesia: Peran Pemerintah & LSM.
Di Indonesia, program-program pemberdayaan masyarakat sudah banyak dilakukan, baik oleh pemerintah maupun LSM yang dibingkai dalam program-program penanggulangan kemiskinan, demokratisasi, lingkungan hidup, kesetaraan jender serta berbagai isu lainnya. Sayangnya, paradigma yang dianut pemerintahan di masa lalu mengakibatkan program-program tersebut sangatlah tergantung pada sumber daya hutang serta donor internasional. Hal ini menunjukkan adanya ketergantungan masyarakat penerima manfaat program pada sumber-sumber daya dari luar ketimbang memanfaatkan dan memprioritaskan sumber-sumber daya lokal yang ada.

Masyarakat miskin seringkali merupakan kelompok yang tidak berdaya baik karena hambatan internal dari dalam dirinya maupun tekanan eksternal dari lingkungannya. Pendamping sosial kemudian hadir sebagai agen perubah yang turut terlibat membantu memecahkan persoalan yang dihadapi mereka. Pendampingan sosial dengan demikian dapat diartikan sebagai interaksi dinamis antara kelompok miskin dan pekerja sosial untuk secara bersama-sama menghadapi beragam tantangan seperti; (a) merancang program perbaikan kehidupan sosial ekonomi, (b) memobilisasi sumber daya setempat (c) memecahkan masalah sosial, (d) menciptakan atau membuka akses bagi pemenuhan kebutuhan, dan (e) menjalin kerjasama dengan berbagai pihak yang relevan dengan konteks pemberdayaan masyarakat.

Pendampingan sosial sangat menentukan kerberhasilan program penanggulangan kemiskinan. Peran pendamping umumnya mencakup tiga peran utama, yaitu: fasilitator, pendidik, perwakilan masyarakat, dan peran-peran teknis bagi masyarakat miskin yang didampinginya.

Dimensi Pemberdayaan Masyarakat
Edi Suharto menyatakan bahwa salah satu pendekatan yang kini sering digunakan dalam meningkatkan kualitas kehidupan dan mengangkat harkat martabat keluarga miskin adalah pemberdayaan masyarakat. Konsep ini menjadi sangat penting terutama karena memberikan perspektif positif terhadap orang miskin. Orang miskin tidak dipandang sebagai orang yang serba kekurangan (misalnya, kurang makan, kurang pendapatan, kurang sehat, kurang dinamis) dan objek pasif penerima pelayanan belaka. Melainkan sebagai orang yang memiliki beragam kemampuan yang dapat dimobilisasi untuk perbaikan hidupnya. Konsep pemberdayaan memberi kerangka acuan mengenai matra kekuasaan (power) dan kemampuan (kapabilitas) yang melingkup aras sosial, ekonomi, budaya, politik dan kelembagaan.

Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata ‘power’ (kekuasaan atau keberdayaan). Karenanya, ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan kita untuk membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka. Ilmu sosial tradisional menekankan bahwa kekuasaan berkaitan dengan pengaruh dan kontrol. Pengertian ini mengasumsikan bahwa kekuasaan sebagai sesuatu yang tidak berubah atau tidak dapat dirubah. Kekuasaan sesungguhnya tidak terbatas pada pengertian di atas. Kekuasaan tidak vakum dan terisolasi.

Kekuasaan senantiasa hadir dalam konteks relasi sosial antar manusia. Kekuasaan tercipta dalam relasi sosial. Karena itu, kekuasaan dan hubungan kekuasaan dapat berubah. Dengan pemahaman kekuasaan seperti ini, pemberdayaan sebagai sebuah proses perubahan kemudian memiliki konsep yang bermakna. Dengan kata lain, kemungkinan terjadinya proses pemberdayaan sangat tergantung pada dua hal: (1) Bahwa kekuasaan dapat berubah. Jika kekuasaan tidak dapat berubah, pemberdayaan tidak mungkin terjadi dengan cara apapun; dan (2) Bahwa kekuasaan dapat diperluas. Konsep ini menekankan pada pengertian kekuasaan yang tidak statis, melainkan dinamis.

Indikator Pemberdayaan
Lebih lanjut ia menyarankan agar para pendamping mengetahui fokus dan tujuan pemberdayaan, maka perlu diketahui berbagai indikator yang dapat menunjukkan seseorang itu berdaya atau tidak. Sehingga ketika pendampingan sosial diberikan, segenap upaya dapat dikonsentrasikan pada aspek-aspek apa saja dari sasaran perubahan (keluarga miskin) yang perlu dioptimalkan. Schuler, Hashemi dan Riley mengembangkan beberapa indikator pemberdayaan, yang mereka sebut sebagai empowerment index atau indeks pemberdayaan (Girvan, 2004):

1. Kebebasan mobilitas: kemampuan individu untuk pergi ke luar rumah atau wilayah tempat tinggalnya, seperti ke pasar, fasilitas medis, bioskop, rumah ibadah, ke rumah tetangga. Tingkat mobilitas ini dianggap tinggi jika individu mampu pergi sendirian.
2. Kemampuan membeli komoditas ‘kecil’: kemampuan individu untuk membeli barang-barang kebutuhan keluarga sehari-hari (beras, minyak tanah, minyak goreng, bumbu); kebutuhan dirinya (minyak rambut, sabun mandi, rokok, bedak, sampo). Individu dianggap mampu melakukan kegiatan ini terutama jika ia dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya; terlebih jika ia dapat membeli barang-barang tersebut dengan menggunakan uangnya sendiri.
3. Kemampuan membeli komoditas ‘besar’: kemampuan individu untuk membeli barang-barang sekunder atau tersier, seperti lemari pakaian, TV, radio, koran, majalah, pakaian keluarga. Seperti halnya indikator di atas, poin tinggi diberikan terhadap individu yang dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya; terlebih jika ia dapat membeli barang-barang tersebut dengan menggunakan uangnya sendiri.
4. Terlibat dalam pembuatan keputusan-keputuan rumah tangga: mampu membuat keputusan secara sendiri mapun bersama suami/istri mengenai keputusan-keputusan keluarga, misalnya mengenai renovasi rumah, pembelian kambing untuk diternak, memperoleh kredit usaha.
5. Kebebasan relatif dari dominasi keluarga: responden ditanya mengenai apakah dalam satu tahun terakhir ada seseorang (suami, istri, anak-anak, mertua) yang mengambil uang, tanah, perhiasan dari dia tanpa ijinnya; yang melarang mempunyai anak; atau melarang bekerja di luar rumah.
6. Kesadaran hukum dan politik: mengetahui nama salah seorang pegawai pemerintah desa/kelurahan; seorang anggota DPRD setempat; nama presiden; mengetahui pentingnya memiliki surat nikah dan hukum-hukum waris.
7. Keterlibatan dalam kampanye dan protes-protes: seseorang dianggap ‘berdaya’ jika ia pernah terlibat dalam kampanye atau bersama orang lain melakukan protes, misalnya, terhadap suami yang memukul istri; istri yang mengabaikan suami dan keluarganya; gaji yang tidak adil; penyalahgunaan bantuan sosial; atau penyalahgunaan kekuasaan polisi dan pegawai pemerintah.
8. Jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga: memiliki rumah, tanah, asset produktif, tabungan. Seseorang dianggap memiliki poin tinggi jika ia memiliki aspek-aspek tersebut secara sendiri atau terpisah dari pasangannya.

Keberhasilan pemberdayaan keluarga miskin dapat dilihat dari keberdayaan mereka menyangkut kemampuan ekonomi, kemampuan mengakses manfaat kesejahteraan, dan kemampuan kultural dan politis jenis.



Referensi

Yusuf. Aang Abu Bakar, Relasi Community Empowerment (Pemberdayaan Masyarakat) dengan Perdamaian, Diambil dari internet tanggal 8 Maret 2008/ 18.30 WIB.

Suharto. Edi, PENDAMPINGAN SOSIAL DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN: KONSEPSI DAN STRATEGI. (Disiapkan sebagai bahan bacaan pelatih dalam meningkatkan kemampuan (capacity building) para pendamping sosial keluarga miskin pada proyek ujicoba model Pemandu di Lampung, Jateng dan NTB), Diambil dari internet tanggal 8 Maret 2008/ 18.40 WIB.

Suharto. Pandu, Grameen Bank: Sebuah Model Bank untuk Orang Miskin di Bangladesh, Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, Jakarta, 1989.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

busedddd pak. masa lo primary blog nya gambar lebah! ketauan gambar gwe...jadi gak gwe di endorse????

pak tulisannya kekecilan, panjang2 pula...males bacanya.
warna warni napa pak....ah emang dasar blog yang bikin orangtua mah susah....

Anonim mengatakan...

Ih lucu. Tapi kreatip tuh.